BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tasawuf timbul dalam Islam sesudah
umat Islam mempunyai kontak dengan agama Kristen, filsafat Yunani dan agama
Hindu dan Budha, muncullah anggapan bahwa aliran tasawuf lahir dalam Islam atas
pengaruh dari luar. Ada yang mengatakan bahwa pengaruhnya datang dari
rahib-rahib Kristen yang mengasingkan diri untuk beribadah dan mendekatkan diri
kepada Tuhan di gurun pasir Arabia. Tempat mereka menjadi tujuan orang
yang perlu bantuan di padang yang gersang. Di siang hari, kemah mereka menjadi
tempat berteduh bagi orang yang kepanasan; dan di malam hari lampu mereka
menjadi petunjuk jalan bagi musafir. Rahib-rahib itu berhati baik, dan pemurah
dan suka menolong. Sufi juga mengasingkan diri dari khalayak ramai. Mereka
adalah orang yang berhati baik, pemurah dan suka menolong.
Pengaruh filsafat Yunani dikatakan
berasal dari pemikiran mistik Pythagoras. Dalam filsafatnya, Ruh manusia adalah
suci dan berasal dari tempat suci, kemudian turun ke dunia materi dan masuk ke
dalam tubuh manusia yang bernafsu. Ruh yang pada mulanya suci itu menjadi tidak
suci dan karena itu tidak dapat kembali ke tempatnya semula yang suci. Untuk
itu ia harus menyucikan diri dengan memusatkan perhatian pada filsafat serta
ilmu pengetahuan dan melakukan beberapa pantangan. Filsafat sufi juga demikian.
Ruh yang masuk ke dalam janin di kandungan ibu berasal dari alam Ruhani yang
suci, tapi kemudian dipengaruhi oleh hawa nafsu yang terdapat dalam tubuh
manusia. Maka untuk dapat bertemu dengan Tuhan Yang Maha Suci, Ruh yang telah
kotor itu dibersihkan dahulu melalui ibadah yang banyak serta melewati beberapa
ujian-ujian dari mulai membersihkan diri dari segala dosa hingga mencapai rida
Ilahi.
Dari agama Budha, pengaruhnya
dikatakan dari konsep Nirwana. Nirwana dapat dicapai dengan meninggalkan dunia,
memasuki hidup kontemplasi dan menghancurkan diri. Ajaran menghancurkan diri
untuk bersatu dengan Tuhan juga terdapat dalam Islam. Sedangkan pengaruh dari
agama Hindu dikatakan datang dari ajaran bersatunya Atman dengan Brahman
melalui kontemplasi dan menjauhi dunia materi. Dalam tasawuf terdapat
pengalaman ittihad.
Kita perlu mencatat, agama Hindu dan Budha, filsafat Yunani dan agama
Kristen datang lama sebelum Islam. Bahwa yang kemudian datang dipengaruhi oleh
yang datang terdahulu adalah suatu kemungkinan. Tapi pendapat serupa ini
memerlukan bukti-bukti historis.
Hakekat tasawuf adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam ajaran Islam,
Tuhan memang dekat sekali dengan manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia
disebutkan Alquran dan Hadits. "Jika hambaKu bertanya kepadamu tentang
Aku, maka Aku dekat dan mengabulkan seruan orang yang memanggil jika Aku
dipanggil."
Ayat berikut menggambarkan lebih lanjut betapa dekatnya tuhan dengan
manusia, "telah kami ciptakan manusia dan kami tahu apa yang dibisikkan
dirinya kepadanya. Dan kami lebih dekat dengan manusia daripada pembuluh darah
yang ada di lehernya.” Ayat ini menggambarkan tuhan berada bukan diluar diri
manusia, tetapi di dalam diri manusia sendiri.
Disini, sufi melihat persatuan manusia dengan Tuhan. Perbuatan manusia
adalah perbuatan Tuhan. Tuhan dekat bukan hanya kepada manusia, tapi juga
kepada makhluk lain sebagaimana dijelaskan hadis berikut, “Pada mulanya Aku
adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal. Maka Kuciptakan
makhluk, dan melalui mereka Aku pun dikenal.”
Disini terdapat paham bahwa Tuhan dan makhluk bersatu, dan bukan manusia
saja yang bersatu dengan Tuhan. Kalau ayat-ayat diatas mengandung arti ittihad,
maka hadis terakhir ini mengandung konsep wahdat al-wujud, kesatuan wujud
makhluk dengan Tuhan.
Demikianlah ayat-ayat Alquran dan Hadits Nabi menggambarkan betapa dekatnya
Tuhan kepada manusia dan juga kepada makhluk-Nya yang lain. Gambaran serupa ini
tidak memerlukan pengaruh dari luar agar seorang muslim dapat merasakan
kedekatan Tuhan itu. Dengan khusuk dan banyak beribadah ia akan merasakan
kedekatan Tuhan, lalu melihat Tuhan dengan mata hatinya dan akhirnya mengalami
persatuan Ruhnya dengan Ruh Tuhan; dan inilah hakikat tasawuf.
1.2. Tujuan
·
Untuk Memahami
Lebih Lanjut Ajaran-Ajaran Tasawuf Akhlaqi
·
Mengetahui
Perkembangan Akhlak Manusia Pada Zaman Sekarang
·
Mengetahui
Ajaran-Ajaran Tasawuf Akhlaqi
1.3. Manfaat
·
Sebagai sumber
informasi
·
Sebagai referensi
untuk karya ilmiah selanjutnya
·
Dapat mewakili
pikiran penulis atau pembicara secara tepat sehingga pendengar/pembaca dapat
memahami pikiran tersebut dengan mudah dan jelas apa yang dimaksud oleh penulis
atau pembicara
1.4. Rumusan masalah
·
Bagaimanakah Perkembangan Tasawuf ?
·
Apakah Yang dimaksud dengan Tasawuf Akhlaki ?
·
Bagaimana tahap-tahap Pembinaan Akhlak menurut Tasawuf
Akhlaki ?
·
Siapakah Tokoh-tokoh Tasawuf Akhlaki dan Ajarannya ?
·
Apa sajakah Rukun Tasawuf ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Perkembangan Tasawuf
Secara keilmuan, tasawuf adalah disiplin ilmu yang baru dalam syari’at
Islam, demikian menurut Ibnu Khaldun. Adapaun asal-usul tasawuf menurutnya
adalah konsentrasi ibadah kepada Allah, meninggalkan kemewahan dan keindahan
dunia dan menjauhkan diri dari akhluk. Ketika kehidupan materialistik mulai
mencuat dalam peri kehidupan masyarakat muslim pada abad kedua dan ketiga
hijriyyah sebagai akibat dari kemajuan ekonomi di dunia Islam, orang-orang yang
konsentrasi beribadah dan menjauhkan diri dari hiruk pikuknya kehidupan dunia
disebutlah kaum sufi.
Berbeda dengan Ibnu Khaldun, Muhammad Iqbal dalam bukunya “Tajdid
al-Fikr ad-Dini al-Islam” berpendapat bahwa tasawuf telah ada semenjak
Nabi. Riyadoh Diniyyah telah lama menyertai kehidupan manusia sejak awal-awal
Islam bahkan kehidupan ini semakin mengental di dalam sejarah kemanusiaan.
Menurut sebagian fakar, Imam Ali bin Abi Thalib adalah orang pertama yang
memunculkan istilah taswuf. Menurut yang lain Salman al-Farisi.
Akar-akar tasawuf dalam Islam merupakan penjabaran dari ihsan. Ihsan
sendiri merupakan bagian dari trilogi ajaran Islam. Islam adalah satu kesatuan
dari iman, islam dan ihsan. Islam adalah penyerahan diri kepada Allah secara
zahir, iman adalah I’tikad batin terhadap hal-hal gaib yang ada dalam rukun iman,
sedangkan ihsan adalah komitmen terhadap hakikat zahir dan batin.
Islam, iman dan ihsan adalah landasan untuk melakukan suluk dan taqqarub kepada
Allah. ‘Iz bin Abdissalam berpendapat bahwa sistematika keberagamaan bagi kaum
muslimin, yang pertama adalah Islam. Islam merupakan tingkat pertama beragama
bagi kaum awam. Iman adalah tingkatan pertama bagi hati orang khusus kaum
mukminin, sedangkan ihsan adalah tingkatan pertama bagi ruh kaum.
2.2. Tokoh
Tokoh Tasawuf Dan Pemkirannya
Tasawuf Akhlaki merupakan tasawuf yang berorientasi pada perbaikan akhlak’
mencari hakikat kebenaran yang mewujudkan menuasia yang dapat ma’rifah kepada
Allah, dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan. Tasawuf Akhlaki,
biasa disebut juga dengan istilah tasawuf sunni. Tasawuf Akhlaki ini
dikembangkan oleh ulama salaf as-salih.
Dalam diri manusia ada potensi untuk menjadi baik dan potensi untuk menjadi
buruk. Potensi untuk menjadi baik adalah al-‘Aql dan al-Qalb.
Sementara potensi untuk menjadi buruk adalah an-Nafs. (nafsu) yang
dibantu oleh syaithan.
Sebagaimana digambarkan dalam
al-Qur’an, surat as-Syams : 7-8 sebagai berikut :
Artinya : “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”.
Para sufi
yang mengembangkan taswuf akhlaki antara lain : Hasan al-Basri (21 H – 110 H),
al-Muhasibi (165 H – 243 H), al-Qusyairi (376 H – 465 H), Syaikh al-Islam
Sultan al-Aulia Abdul Qadir al-Jilani (470 – 561 H), Hujjatul Islam Abu Hamid
al-Gajali (450 H – 505 H), Ibnu Atoilah as-Sakandari dan lain-lain.
Sesugguhnya
banyak sekali para Ulama’ yang mengikuti jejak Rosulullah SAW. untuk hidup
seadanya dan tidak tamak, tapi pemakalah disini akan membahas siapa saja yang
terkenal sebagai pakar ilmu tasawuf akhlaki.
2.3. Tasawuf
Akhlaqi
Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang berkonstrasi pada teori-teori perilaku,
akhlaq atau budi pekerti atau perbaikan akhlaq. Dengan metode-metode tertentu
yang telah dirumuskan, tasawuf seperti ini berupaya untuk menghindari akhlaq
mazmunah dan mewujudkan akhlaq mahmudah. Tasawuf seperti ini dikembangkan oleh
ulama’ lama sufi.
Dalam pandangan para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap
mental yang tidak baik diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriyah.
Oleh karena itu pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seseorang
diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat tujuannya
adalah mengusai hawa nafsu, menekan hawa nafsu, sampai ke titik terendah dan
-bila mungkin- mematikan hawa nafsu sama sekali oleh karena itu dalam tasawuf
akhlaqi mempunyai tahap sistem pembinaan akhlak disusun sebagai berikut:
1. Takhalli
Takhalli
merupakan langkah pertama yang harus di lakukan oleh seorang sufi. Takhalli
adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela. Salah satu
dari akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan akhlak jelek antara lain
adalah kecintaan yang berlebihan kepada urusan duniawi.
Dari
definisi takhali di atas, dapat dinyatakan bahwa takhalli ini dapat dicapai
dengan menjauhkan diri dari kemaksiatan, kelezatan atau kemewahan dunia, serta
melepaskan diri dari hawa nafsu yang jahat, yang kesemuanya itu adalah penyakit
hati yang dapat merusak. Menurut kelompok sufi, maksiat dibagi menjadi dua,
yakni maksiat lahir dan maksiat batin, Maksit
lahir adalah segala bentuk maksiat yang dilakukan atau dikerjakan oleh anggota
badan yang bersifat lahir. Sedangkan maksiat batin adalah berbagai bentuk dan
macam maksiat yang dilakukan oleh hati, yang merupakan organ batin manusia.
Pada
hakekatnya, maksiat batin ini lebih berbahaya dari pada maksiat lahir. Jenis
maksiat ini cenderung tidak tersadari oleh manusia karena jenis maksiat ini
adalah jenis maksiat yang tidak terlihat, tidak seperti maksiat lahir yang
cenderung sering tersadari dan terlihat. Bahkan maksiat batin dapat menjadi
motor bagi seorang manusia untuk melakukan maksiat lahir. Sehingga bila maksiat
batin ini belum dibersihkan atau belum dihilangkan, maka maksiat lahir juga
tidak dapat dihilangkan.
Kelompok
sufi beranggapan bahwa penyakit-penyakti dan kotoran hati yang sangat berbahaya
tersebut dapa menjadi hijab untuk dapat dekat dengan tuhan. Sehingga agar mudah
menerima pancaran Nur Illahi dan dapat mendekatkan diri dengan tuhan
maka hijab tersebut haruslah dihapuskan dan dihilangkan. Yakni, dengan berusaha
membersihkan hati dari penyakit-penyakit hati dan kotoran hati yang dapat
merusak. Upaya pembersihan hati ini dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut
:
1.
Menghayati segala bentuk ibadah, agar dapat
memahaminya secara hakiki
2. Berjuang dan
berlatih membebaskan diri dari kekangan hawa nafsu yang jahat dan menggantinya dengan sifat-sifat yang
positif.
3. Menangkal
kebiasaan yang buruk dan mengubahnya dengan kebiasaan yang baik.
4. Muhasabah,
yakni koreksi terhadap diri sendiri tentang keburukan-keburukan apa saja yang
telah dilakukan dan menggantinya dengan kebaikan-kebaikan.
2. Tahalli
Secara
etimologi kata Tahalli berarti berhias. Sehingga Tahalli adalah menghiasi diri
dengan sifat-sifat yang terpuji serta mengisi diri dengan perilaku atau
perbuatan yang sejalan dengan ketentuan agama baik yang bersifat lahir maupun
batin. Definisi lain menerangkan bahwa Tahalli berarti mengisi diri dengan
perilaku yang baik dengan taat lahir dan taat batin, setelah dikosongkan dari
perilaku maksiat dan tercela. Diterangkan pula bahwa Tahalli
adalah menghias diri dengan jalan membiasakan diri dengan sifat dan sikap serta
perbuatan yang baik.
Tahalli
merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan pada tahap Takhalli. Dengan kata lain, Tahalli adalah tahap yang harus
dilakukan setelah tahap pembersihan diri dari sifat-sifat, sikap dan perbuatan
yang buruk ataupun tidak terpuji, yakni dengan mengisi hati dan diri yang telah
dikosongkan aatu dibersihkan tersebut dengan sifat-sifat, sikap, atau tindakan
yang baik dan terpuji. Dalam hal yang harus dibawahi adalah pengisian jiwa
dengan hal-hal yang baik setalah jiwa dibersihkan dan dikosongkan dari hal-hal
yang buruk bukan berarti hati harus dibersihkan dari hal-hal yang buruk
terlebih dahulu, namun ketika jiwa dan hati dibersihkan dari hal-hal yang
bersifat kotor, merusak, dan buruk harus lah diiringi dengan membiasakan diri
melakukan hal-hal yang bersifat baik dan terpuji. Karena hal-hal yang buruk
akan terhapuskan oleh kebaikan.
Pada
dasarnya, jiwa manusia dapatlah dilatih, diubah, dikuasai, dan dibentuk sesuai
dengan kehendak manusia itu sendiri. Dengan
kata lain sikap, atau tindakan yang dicerminkan dalam bentuk perbuatan baik
yang bersifat lahir ataupun dapat dilatih, dirubah menjadi sebuah kebiasaan dan
dibentuk menjadi sebuah kepribadian. Sehingga, pengisian jiwa dengan hal-hal
yang baik itu diawali dengan melatih diri dengan melakukan hal-hal yang baik,
sehingga lama kelamaan hal-hal yang baik tersebut akan berubah menjadi
kebiasaan, dan apabila secara berkelanjutan dilakukan hal-hal yang baik
tersebut akan terbentuk menjadi suatu kebiasaan.
Tahalli juga berarti menghiasi diri
dengan sifat-sifat Allah. Yaitu menghiasi diri dengan sifat-sifat yang terpuji.
Apa bila jiwa dapat diisi dan dihiasi dengan sifat-sifat yang terpuji, hati
tersebut akan menjadi terang dan tenang, sehingga jiwa akan menjadi mudah
menerima nur Illahi karena tidak terhijab atau terhalang oleh sifat-sifat yang
tercela dan hal-hal yang buruk Hal-hal yang harus dimasukkan, yang meliputi
sikap mental dan perbuatan luhur itu adalah seperti taubat, sabar, kefakiran,
zuhud, tawakal, cinta, dan ma’rifah.
3. Tajalli
Tajalli
adalah tahap yang dapat ditempuh oleh seorang hamba ketika ia sudah mampu
melalui tahap Takhalli dah Tahalli. Tajalli adalah lenyapnya atau hilangnnya
hijab dari sifat kemanusiaan atau terangnya nur yang selama itu
tersembunyi atau fana segala sesuatu selain Allah, ketika nampak wajah Allah.
Tahap
Tajalli di gapai oleh seorang hamba ketika mereka telah mampu melewati tahap
Takhalli dan Tahalli. Hal ini berarti untuk menempuh tahap Tajalli seorang
hamba harus melakukan suatu usaha serta latihan-latihan kejiwaan atau
kerohanian, yakni dengan membersihkan dirinya dari penyakit-penyakit jiwa
seperti berbagai bentuk perbuatan maksiat dan tercela, kemegahan dan kenikmatan
dunia lalu mengisinya dengan perbuatan-perbuatan, sikap, dan sifat-sifat yang
terpuji, memperbanyak dzikir, ingat kepada Allah, memperbanyak ibadah dan
menghiasi diri dengan amalan-amalan mahmudah yang dapat menghilangkan penyakit
jiwa dalam hati atau dir seorang hamba.
Tahap
Tajalli tentu saja tidak hanya dapat ditempuh dengan melakukan latihan-latihan
kejiwaan yang tersebut di atas, namun latihan-latihan tersebut harus lah dapat
ia rubah menjadi sebuah kebiasaan dan membentuknya menjadi sebuah kepribadian.
Hal ini berarti, untuk menempuh jalan kepada Allah dan membuka tabir yang
menghijab manusia dengan Allah, seseorang harus terus melakukan hal-hal yang
dapat terus mengingatkannya kepada Allah, seperti banyak berdzikir dan
semacamnya juga harus mampu menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang
dapat membuatnya lupa dengan Allah seperti halnya maksiat dan semacamnya.
Dapat pula
diumpamakan pula bahwa, seorang yang mencari tuhan adalah seperti orang yang
bercermin di depan sebuah kaca besar yang kotor. Kotoran dalam cermin itu
diibaratkan sebahai sebuah hijab yang menghalanginya untuk melihat bayangannya
dengan jelas, dan bayangan itu diibaratkan sebagai tuhan. Untuk dapat melihat
bayangannya dengan jelas seseorang tidak perlu memindahkan cerminnya kekanan
atau kekiri atau membeli cermin yang baru. Melainkan, seseorang tersebut hanya
harus membersihkan kotoran tersebut untuk dapat melihat bayangannya dengan
jelas. Dengan demikian, jelaslah bahwa untuk dapat membuka hijab antara manusia
dengan Allah seseorang harus mampu membersihkan kotoran-kotaran yang terdapat
dalam jiwanya dan menggantinya dengan perbuatan, sifat dan sikap yang terpuji
dan baik agar hatinya tidak lagi tercemari dan terkotori oleh penyakit-penyakit
jiwa yang dapat menjadi hijab antara seorang hamba dengan Allah.
4. Munajat
Munajat
berarti melaporkan segala aktivitas yang dilakukan kehadirat Allah SWT. Maksudnya adalah dalam munajat seseorang mengeluh
dan mengadu kepada Allah tentang kehidupan yang seorang hamba alami dengan
untaian-untaian kalimat yang indah diiringi dengan pujian-pujian kebesaran nama
Allah.
Munajat
biasanya dilakukan dalam suasanya yang hening teriring dengan deraian air mata
dan ungkapan hati yang begitu dalam. Hal ini adalah bentuk dari sebuah do’a
yang diungkapkan dengan rasa penuh keridhoan untuk bertemu dengan Allah SWT.
Menurut kaum
sufi, tangis air mata itu menjadi salah satu amal adabiyah atau , suatu
riyadhah bagi orang sufi ketika bermunajat kepada Allah. Para kaum sufi pun berpandangan bahwa tetesan-tetesan air mata
tersebut merupakan suatu tanda penyeselan diri atas kesalahan-kesalahan yang
tidak sesuai dengan kehendak Allah. Sehingga, bermunajat dengan do’a dan
penyesalan yang begitu mendalam atas semua kesalahan yang diiringi dengan
tetesan-tetesan air mata merupakan salah satu cara untuk memperdalam rasa
ketuhanan dan mendekatkan diri kepada Allah.
5.
Muraqabah
Muraqabah
menurut arti bahasa berasal dari kata raqib yang berarti penjaga atau
pengawal. Muraqabah menurut kalangan sufi mengandung pengertian adanya
kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dalam keadaan
diawasi-Nya. Muroqobah juga dapat diartikan
merasakan kesertaan Allah, merasakan keagungan Allah Azza wa Jalla di setiap
waktu dan keadaan serta merasakan kebersamaan-Nya di kala sepi atau pun ramai.
Sikap
muroqobah ini akan menghadirkan kesadaran pada diri dan jiwa seseorang bahwa ia
selalu diawasi dan dilihat oleh Allah setiap waktu dan dalam setiap kondisi
apapun. Sehingga dengan adanya kesadaran ini seseorang akan meneliti apa-apa
yang mereka telah lakukan dalam kehidupan sehari-hari, apakah ini sudah sesuai
dengan kehendak Allah ataukan malah menyimpang dari apa yang di tentukan-Nya.
Disamping
itu ada satu istilah yang disebut dengan sikap mental muqorobah, yakni sikap
selalu memandang Allah dengan mata hati (Vision of Heart). Sebaliknya,
ia pun juga menyadari bahwa Allah juga melihatnya, mengawasinya, dan
memandangnya dengan sangat penuh perhatian.
Ketika
muroqobah dilakukan untuk menghadirkan kemantapan hati dan ketenangan batin
seseorang dalam praktik mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini dikarenakan,
bila sudah tertanam kesadaran bahwa seseorang selalu melihat Allah dengan
hatinya dan ia sadar bahwa Allah selalu memandangnya dengan penuh perhatian
maka seseorang tersebut akan semakin mantab untuk mengamalkan dan melakukan
apa-apa yang diridloi oleh Allah sehingga batin nya akan semakin terbuka untuk
dapat mendekatkan dirinya pada Allah.
Sikap mental
muroqobah ini dapat digambarkan dalam sebuah cerita sufi, yakni ketika seorang
muslim yang berjualan baju keliling diajak bersetubuh oleh seorang wanita
biarawati nasrani. Ketika itu laki-laki muslim itu tengah menjajakan barang
dagangannya kerumah biarawati tersebut. Kebetulan saat itu hanya ada mereka
berdua, dan tak ada orang lain disana. Ketika itu pula seorang biarawati itu
mengajak laki-laki muslim itu untuk bersetubuh. Dan laki-laki itupun
terpengaruh oleh godaan setan, dia berkata “ia saya mau”. Namun ketika
laki-laki muslim itu dan biarawati itu hampir melakukan persetubuhan, tiba-tiba
tersadarlah dalam hati laki-laki tersebut, jika Allah tak pernah tidur dan
selalu mengawasinya dengan penuh perhatian. Sat itu pula laki-laki muslim itu
berkata “saya tak bisa melakukannya, saya takut dengan Allah karna dia selalu
mengawasi saya”. Hingga akhirnya mereka tidak jadi bersetubuh dan laki-laki
muslim itu meninggalkan rumah itu.
6.
Muhasabah
Muhasabah
seringkali diartikan dengan memikirkan, memperhatikan, dan memperhitungkan amal
dari apa-apa yang ia sudah lakukan dan apa-apa yang ia akan lakukan. Muhasabah
juga didefinisikan dengan meyakini bahwa Allah mengetahui segala fikiran,
perbuatan, dan rahasia dalam hati yang membuat seseotang menjadi hormat, takut,
dan tunduk kepada Allah.
Di dalam
muhasabah, seseorang terus-menerus melakukan analisis terhadap diri dan jiwa
beserta sikap dan keadaannya yang selalau berubah-ubah. Orang tersebut menghisab
dirinya sendiri tanpa menunggu hingga hari hari kebangkitan. Dalam muhasabah
hal-hal yang perlu dipaerhatikan adalah menghisab tentang kebajikan dan
kewajiban yang sudah dilaksanakan dan seberapa banyak maksiat yang sudah
dilaksanakan. Apabila kemaksiatan lebih banyak dilakukan, maka orang tersebut
harus menutupnya dengan kebaikan-kebaikan diringi dengan taubatan nasuha.
Dengan
demikian sikap mental muhasabah dalah salah satu sikap mental yang harus
ditanamkan dalam diri dan jiwa agar dapat meningkatkan kualitas keimanan kita
terhadap Allah SWT. Sehingga sikap mental ini akan dapat meningkatkan kualitas
ibadah kita kepada Allah SWT, dan membukakan jalan untuk menuju kepada Allah SWT.
2.4.
Tokoh-Tokoh Akhlaqi Dan Ajarannya
Tasawuf sunni (akhlaki) yaitu tasawuf yang benar-benar mengikuti al-qur’an
dan sunnah, terikat, bersumber, tidak keluar dari batasan-batasan keduanya,
mengontrol prilaku, lintasan hati serta pengetahuan dengan neraca keduanya.
Sebagaimana ungkapan abu qosim junaidi al-bagdadi: “mazhab kami ini terikat
dengan dasar-dasar al-qur’an dan sunnah”, perkataannya lagi: “barang siapa yang
tidak hafal (memahami) al-qur’an dan tidak menulis (memahami) hadits maka orang
itu tidak bisa dijadikan qudwah dalam perkara (tarbiyah tasawuf) ini, karena
ilmu kita ini terikat dengan al-qur’an dan sunnah.”.
Tasawuf ini diperankan oleh kaum sufi yang mu’tadil (moderat) dalam
pendapat-pendatnya, mereka mengikat antara tasawuf mereka dan al-qur’an serta
sunnah dengan bentuk yang jelas. Boleh dinilai bahwa mereka adalah orang-orang
yang senantiasa menimbang tasawuf mereka dengan neraca syari’ah.
Tasawuf ini berawal dari zuhud, kemudian tasawuf dan berakhir pada akhlak.
Mereka adalah sebagian sufi abad kedua, atau pertengahan abad kedua, dan
setelahnya sampai abad keempat hijriyah. Dan personal seperti hasan al-bashri,
imam abu hanifa, al-junaidi al-bagdadi, al-qusyairi, as-sarri as-saqeti,
al-harowi, adalah merupakan tokoh-tokoh sufi utama abad ini yang berjalan
sesuai dengan tasawuf sunni. Kemudian pada pertengahan abad kelima hijriyah
imam ghozali membentuknya ke dalam format atau konsep yang sempurna, kemudian
diikuti oleh pembesar syekh toriqoh. Akhirnya menjadi salah satu metode
tarbiyah ruhiyah ahli sunnah wal jamaah.Dan tasawuf tersebut menjadi sebuah
ilmu yang menimpali kaidah-kaidah praktis.
Tasawuf ini juga dinamakan tasawuf nazhari (teori), demikian, karena
tasawuf islam terbagi kepada nazhari dan amali (praktek). Dan hal ini tidak
berarti bahwa tasawuf nazhori ini kosong dari sisi praktis. Istilah teori ini
hanya melambangkan bahwa tasawuf belum menjadi bentuk thoreqoh (tarbiyah
kolekltif) secara terorganisir seperti toreqoh yang terjadi sekarang ini.
a. Junaid Al-Baghdadi
Nama
lengkapnya adalah abu al-qasim al-junaid bin muhammad al-kazzaz al-nihawandi.
Dia adalah seorang putera pedagang barang pecah belah dan keponakan surri
al-saqti serta teman akrab dari haris al-muhasibi. Dia meninggal di baghdad
pada tahun 297/910m. Dia termasuk tokoh sufi yang luar biasa, yang teguh dalam
menjalankan syari`at agama, sangat mendalam jiwa kesufiannya. Dia adalah
seorang yang sangat faqih, sering memberi fatwa sesuia apa yang dianutnya,
madzhab abu sauri: serta teman akrab imam syafi`i.
Dikatakan bahwa para sufi pada masanya, al-junaid adalah seorang sufi yang
mempunyai wawasan luas terhadap ajaran tasawuf, mampu membahas secara mendalam,
khusus tentang paham tauhid dan fana`. Karena itulah dia digelari imam kuam
sufi (syaikh al-ta`ifah); sementara al-qusayiri di dalam kitabnya al-risaalah
al-qusyairiyyah menyebutnya tokoh dan imam kaum sufi.
Asal-usul al-junaid berasal dari nihawan. Tetapi dia lahir dan tumbuh
dewasa di irak. Tentang riwayat dan pendidikannya, al-junaid pernah berguru pada
pamannya surri al-saqti serta pada haris bin `asad al-muhasibi.
Kemampuan al-junaid untuk menyapaikan ajaran agama kepada umat diakui oleh
pamannya, sekaligus gurunya, surri al-saqti. Hal ini terbukti pada kepercayaan
gurunya dalam memberikan amanat kepadanya untuk dapat tampil dimuka umum.
Al-Junaid dikenal dalam sejarah atsawuf sebagai seorang sufi yang banyak
membahas tentang tauhid. Pendapat-pendapatnya dalam masalah ini banyak
diriwayatkan dalam kitab-kitab biografi para sufi, antara lain sebagaimana
diriwayatkan oleh al-qusyairi: “oang-orang yang mengesakan Allah adalah mereka
yang merealisasikan keesaan-Nya dalam arti sempurna, meyakini bahwa Dia adalah
Yang Maha Esa, dia tidak beranak dan diperanakkan. Di sini memberikan
pengertian tauhid yang hakiki. Menurutnya adalah buah dari fana` terhadap semua
yang selain Allah. Dalam hal ini dia menegaskan.
Al-Junaid juga menandaskan bahwa tasawuf berarti “allah akan menyebabkan
mati dari dirimu sendiri dan hidup di dalam-Nya.” Peniadaan diri ini oleh Junaid
disebut fana`, sebuah istilah yang mengingatkan kepada ungkapan Qur`ani “segala
sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya (QA. 55:26-27); dan hidup dan hidup dalam
sebutannya baqa`. Al-Junaid menganggap bahwa tasawuf merupakan penyucian dan
perjuangan kejiwaan yang tidak ada habis-habisnya.
Disamping al-junaid menguraikan paham tauhid dengan karakteristik para
sufi, dia juga mengemukakan ajaran-ajaran tasawuf lainnya.
b. Al-Qusyairi An-Naisabury
Dialah imam al-qusyary an-naisabury, tokoh sufi yang hidup pada abad kelima
hijriah. Tepatnya pada masa pemerintahan bani saljuk. Nama lengkapnya adalah
abdul karim al-qusyairy, nasabnya abdul karim ibn hawazin ibn abdul malik ibn
thalhah ibn muhammad. Ia lahir di astawa pada bulan rabiul awal tahun 376 h
atau 986 m.
Sedikit sekali informasi penulis
dapat yang menerangkan tentang masa kecilnya.
Namun yang jelas, dia lahir sebagai yatim. Bapaknya meninggal dunia saat
usianya masih kecil. Sepeninggal bapaknya, tanggungjawab pendidikan diserahkan
pada abu al-qosim al-yamany. Ketika beranjak dewasa, al-qusyairy melangkahkan
kaki meninggalkan tanah kelahiran menuju naisabur, yang saat itu menjadi
ibukota khurasan. Pada awalnya, kepergiannya ke naisabur untuk mempelajari
matematika. Hal ini dilakukan karena al-qusyairy merasa terpanggil menyaksikan
penderitaan masyarakatnya, yang dibebani biaya pajak tinggi oleh penguasa saat
itu. Dengan mempelajari matematika, ia berharap, dapat menjadi petugas penarik
pajak dan meringankan kesulitan masyarakat saat itu.
Naisabur merupakan kota yang menyimpan peluang besar untuk perkembangan
berbagai macam disiplin ilmu, karena banyak kaum intelektual yang hidup disana.
Di kota inilah, untuk pertama kalinya al-qusyairy bertemu bertemu sheikh abu
‘ali hasan ibn ‘ali an-naisabury, yang lebih dikenal dengan panggilan
ad-daqqaq. Pertemuan itu menyisakan kekaguman al-qusyairy pada
peryataan-pernyataan ad-daqqaq. Perlahan, keinginannya mempelajari matermatika
pun hilang. Ia pun memilih jalan tarekat dengan belajar dari ad-daqqaq. Berawal
dari sinilah, al-qusyairy mengenal tasawuf. Al-daqqaq merupakan guru pertama
al-qusyairy dalam bidang tasawuf. Dari ia pula al-qusyairy mempelajari banyak
hal, tidak hanya terbatas tasawuf, tetapi juga ilmu-ilmu keislaman yang lain.
Al-Qusyairy mampu memahami dengan baik semua pengetahuan yang diajarkan
gurunya. Dari sinilah Ad- Daqqaq menyadari kemampuan intelektual Al-Qusyairy.
Mungkin, hal ini menjadi salah satu faktor yang mendorong inisiatif Ad-Daqqaq
untuk menikahkan putrinya, Fatimah dengan Al-Qusyairy.
Pernikahan ini berlangsung pada antara tahun 405 – 412 H/1014 – 1021 M.
Fatimah merupakan wanita ahli sastra dan tekun beribadah. Dari pernikahan ini,
lahirlah enam putera dan satu puteri, yaitu; Abu Said Abdullah, Abu Said Abdul
Wahid, Abu Mansyur Abdurrahman, Abu Nashr Abdurrahim, Abu Fath Ubaidillah, Abu
Muzaffar Abdul Mun’im dan putri Amatul Karim.
Disamping berguru pada mertuanya, Imam Al-Qusyairy juga berguru pada para
ulama lain. Diantaranya, Abu Abdurrahman Muhammad ibn al-Husain (325-412 H/936-1021
M), seorang sufi, penulis dan sejarawan.
Al-Qusyairy juga belajar fiqh pada Abu Bakr Muhammad ibn Abu Bakr at-Thusy
(385-460 H/995-1067 M, belajar Ilmu Kalam dari Abu Bakr Muhammad ibn al-Husain,
seorang ulama ahli Ushul Fiqh. Ia juga belajar Ushuluddin pada Abu Ishaq
Ibrahim ibn Muhammad, ulama ahli Fiqh dan Ushul Fiqh.Al-Qusyairy pun belajar
Fiqh pada Abu Abbas ibn Syuraih, serta mempelajari Fiqh Mazhab Syafi’i pada Abu
Mansyur Abdul Qohir ibn Muhammad al-Ashfarayain.
Al-Qusyairy
banyak menelaah karya-karya al-Baqillani, dari sini ia menguasai doktrin
Ahlusunnah wal Jama’ah yang dikembangkan Abu Hasan al-Asy’ary (w.935 M) dan
para pengikutnya.
Karena itu tidak mengherankan, kalau Kitab Risalatul Qusyairiyah yang
merupakan karya monumentalnya dalam bidang Tasawuf -dan sering disebut sebagai
salah satu referensi utama Tasawuf yang bercorak Sunni-, Al-Qusyairy cenderung
mengembalikan Tasawuf ke dalam landasan Ahlusunnah Wal Jama’ah. Dia juga
penentang keras doktrin-doktri aliran Mu’tazilah, Karamiyah, Mujassamah dan
Syi’ah. Karena tindakannya itu, Al-Qusyairy pernah mendekam dalam penjara
selama sebulan lebih, atas perintah Taghrul Bek, karena hasutan seorang menteri
yang beraliran Mu’tazilah yaitu Abu Nasr Muhammad ibn Mansyur al-Kunduri.
Perburuan
terhadap para pemuka aliran Asy’ariyah itu berhenti dengan wafatnya Taghrul bek
pada tahun 1063 M.
Penggantinya, Alp Arsalen (1063-1092 M), kemudian mengangkat Nizam al-Mulk
sebagai pengganti al-Khunduri. Kritik Terhadap Para Sufi Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi
al-Taftazani, Guru Besar Filsafat Islam dan Tasawuf pada Universitas Kairo,
yang juga tokoh dan Ketua Perhimpunan Sufi Mesir (Robithah al-Shufihiyah
al-Mishriyah) menulis, Imam Al-Qusyairy mengkritik para sufi aliran Syathahi
yang mengungkapkan ungkapan-ungkapan penuh kesan tentang terjadinya Hulul
(penyatuan) antara sifat-sifat kemanusiaan, khususnya sifat-sifat barunya,
dengan Tuhan. Al-Qusyairy juga mengkritik kebiasaan para sufi pada masanya yang
selalu mengenakan pakaian layaknya orang miskin. Ia menekankan kesehatan batin
dengan perpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Hal ini lebih disukainya daripada penampilan lahiriah yang memberi kesan
zuhud, tapi hatinya tidak demikian. (lihat, Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi
al-Taftazani, Madkhal ilaa al-Tasawwuf al-Islam, cetakan ke-IV. Terbitan Dar
al-Tsaqofah li an-Nasyr wa al-Tauzi, Kairo, 1983) Dari sini dapat dipahami,
Al-Qusyairy tidak mengharamkan kesenangan dunia, selama hal itu tidak
memalingkan manusia dari mengingat Allah. Beliau tidak sependapat dengan para
sufi yang mengharamkan sesuatu yang sebenarnya tidak diharamkan agama.
Karena itu Al-Qusyairy menyatakan, penulisan karya monumentalnya Risalatul
Qusyairiyah, termotinasi karena dirinya merasa sedih melihat persoalan yang
menimpah dunia Tasawwuf. Namun dia tidak bermaksud menjelek-jelekkan seorang
pun para sufi ketika itu. Penulisan Risalah hanya sekadar pengobat keluhan atas
persoalan yang menimpa dunia Tasawuf kala itu.
Imam Al-Qusyairy merupakan ulama yang ahli dalam banyak disiplin ilmu yang
berkembang pada masanya, hal ini terlihat dari karya-karya beliau, seperti yang
tercantum pada pembukaan Kitabnya Risalatul Qusyairiyah.
Karya-karya itu adalah; Ahkaamu as-Syariah, kitab yang membahas
masalah-masalah Fiqh, Adaabu as-Shufiyyah, tentang Tasawuf, al-Arbauuna fil
Hadis, kitab ini berisi 40 buah hadis yang sanadnya tersambung dari gurunya Abi
Ali Ad-Daqqaq ke Rasulullah. Karya lainnya adalah; Kitab Istifaadatul
Muraadaats, Kitab Bulghatul Maqaashid fii al-Tasawwuf, Kitab at-Tahbir fii
Tadzkir, Kitab Tartiibu as-Suluuki fii Tariqillahi Ta’ala yang merupakan
kumpulan makalah beliau tentang Tasawwuf, Kitab At-Tauhidu an-Nabawi, Kitab
At-Taisir fi ‘Ulumi at-Tafsir atau lebih dikenal dengan al-Tafsir al-Kabir. Ini
merupakan buku pertama yang ia tulis, yang penyusunannya selesai pada tahun 410
H/1019 M. Menurut Tajuddin as- Syubkhi dan Jalaluddin as-Suyuthi, tafsir
tersebut merupakan kitab tafsir terbaik dan terjelas.
Menurut Syuja’al-Hazaly, Imam Al-Qusyairy menutup usia di Naisabur pada
pagi Hari Ahad, tanggal 16 Rabiul Awal 465 H/ 1073 M, dalam usia 87 tahun.
Dikisahkan bahwa beliau mempunyai seekor kuda yang telah mengabdi padanya selama
selama 20 tahun. Pada saat Al-Qusyairy wafat, kuda itu sangat sedih dan tidak
mau makan selama dua minggu, hingga akhirnya ikut mati. Setelah Al-Qusyairy
wafat, tak ada seorang pun yang berani memasuki perpustakaan pribadinya selama
beberapa tahun. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan bagi al-Imam
Radiyallah Ta’ala ‘Anhu. Wallahu a’lam bi al-Showab.
c. Al-Harawi
Nama lengkapnya adalah Abu isma`il `Abdullah bin Muhammad al-Ansari. Beliau
lahir tahun 396 H. di Heart, kawasan khurasan. Seperti dikatakan Louis
Massignon, dia adalah seorang faqih dari madzhab hambali; dan karya-karyanya di
bidang tasawuf dipandang amat bermut. Sebagai tokoh sufi pada abad kelima
Hijriyah, dia mendasarkan tasawufnya di atas doktrin Ahl al-Sunnah. Bahkan ada
yang memandangnya sebagai pengasas gerakan pembaharuan dalam tasawuf dan
penentang para sufi yang terkenal dengan ungkapan-ungkapan yang anah, seperti
al-Bustami dan al-Hallaj.
Di antara karya-karya beliau tentang tasawuf adalah Manazil al-Sa`irin ila
Rabb al-`Alamin. Dalam dalam karyanya yang ringkas ini, dia menguraikan
tingkatan-tingkatan rohaniyah para sufi, di mana tingakatan para sufi tersebut,
menurutnya, mempunyai awal dan akhir, seperti katanya; ”kebanyakan ulama
kelompok ini sependapat bahwa tingkatan akhir tidak dipaandang benar kecuali
dengan benarnya tingkatan awal, seperti halnya bangunan tidak bias tegak
kecuali didasarkan pada fondasi. Benarnya tingkatan awal adalah dengan
menegakkannya di atas keihklasan serta keikutannya terhadap al-Sunnah”.
Dalam kedudukannya sebagai seorangpenganut paham sunni, al-harawi
melancarkan kritik terhadap para sufi yang terkenal dengan keanehan
ucapan-ucapannya, sebagaimana katanya.
Dalam kaitannya dengan masalah ungkapan-ungkapan sufi yang aneh tersebut,
al-Harwi berbicara tentang maqam ketenangan (sakinah). Maqam ketenangan timbul
dari perasaan ridha yang aneh. Dia mengatakan: “peringkat ketiga (dari
peringkat-peringkat ketenangan) adalah ketenagan yang timbul dari perasaan
ridhaatas bagian yang diterimanya. Ketenangan tersebut bias mencegah ucapan
aneh yang menyesatkan ; dan membuat orang yang mencapainya tegak pada batas
tingkatannya. “yang dimaksud dengan ucapan dengan ucapan yang menyesatkan itu
adalah seperti ungkapan-ungkapan yang diriwayatkan dari Abu yazid dan lain-lain.
Berbeda dengan al-Jinaid, Sahl
al-Tusturi dan lainnya; karena mereka ini memiliki ketenangan yang membuat
mereka tidak mengucapkan ungkapan-ungkapan yang anah. Karena itu dapat
dikatakan bahwa ungkapan-ungkapan yang aneh tersebut timbul dari ketidak
tenangan, sebab, seandainya ketenangan itu telah bersemi di kalbu, maka hal itu
akan membuatnya terhindar dari mengucapkan ungkapan-ungkapan yang menyesatkan
tersebut.
Kemudian yang dimaksud dengan batas tingkatan adalah tegaknya seorang sufi
pada batas tingkatan kedudukannya sebagai seorang hamba. Tegasnya, di
sekali-kali tidak melewati tingkatan kedudukannya sebagai seorang hamba.
Ketenangan tersebut, menurut al-harawi, tidak di turunkan kecuali pada kalbu
seorang nabi atau wali.
2.5. Rukun
Tasawuf
Al-Kalabazi
dengan mengutip pendapat Abu al-Hasan Muhammad bin Ahmad al-Farisi menerangkan
bahwa rukun tasawuf ada sepuluh macam, antara lain :
1.
Tajrid at-Tauhid (memurnikan tauhid)
2.
Memahami informasi. Maksudnya mendengar tingkah laku
bukan hanya mendengar ilmu saja.
3.
Baik dalam pergaulan.
4.
Mengutamakan kepentingan orang banyak ketimbang
kepentingan diri sendiri.
5.
Meninggalkan banyak pilihan.
6.
Ada kesinambungan antara pemenuhan kepentingan lahir
dan batin.
7.
Membuka jiwa terhadap intuisi (ilham).
8.
Banyak melakukan bepergian untuk menyaksikan keagungan
alam ciptaan Tuhan sekaligus mengambil pelajaran.
9.
Meninggalkan iktisab untuk menumbuhkan tawakkal.
10. Meninggalkan
iddikhar (banyak simpanan) dalam keadaan tertentu kecuali dalam rangka mencari
ilmu.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Tasawuf diciptakan sebagai media untuk mencapai maqashid al-Syar’i
(tujuan-tujuan syara’). Karena bertasawuf itu pada hakikatnya melakukan
serangkaian ibadah seperti salat, puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya, yang
dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. ibadah yang dilakukan itu
erat kaitannya dengan akhlak. Dalam hubungan ini Harun Nasution bahwa ibadah
dalam Islam erat sekali hubungannya dengan pendidikan akhlak. Ibadah dalam
Alquran dikaitkan dengan takwa, dan takwa berarti melaksanakan perintah Allah
dan menjauhi larangan-Nya. Inilah yang dimaksud dengan ajaran amar ma’ruf nahi munkar,
mengajak orang pada kebaikan dan mencegah orang dari hal-hal yang tidak baik.
Tegasnya orang yang bertakwa adalah orang yang berakhlak/berpribadi mulia.
Harun Nasution lebih lanjut mengatakan bahwa Alquran dan hadis mementingkan
akhlak. Alquran dan hadis menekankan nilai-nilai kejujuran, kesetiakawanan, persaudaraan,
rasa kesosialan, keadilan, tolong-menolong, murah hati, suka memberi maaf,
sabar, baik sangka, berkata benar, pemurah, keramahan, bersih hati, berani,
kesucian, hemat, menepati janji, disiplin, mencintai ilmu dan berpikiran lurus.
Nilai-nilai ini yang harus dimiliki seorang Muslim yang akan bertasawuf sebagai
pembentukan ke arah pribadi yang mulia.
Selain itu, tasawuf juga mempunyai tujuan-tujuan sebagai berikut:
1.Berupaya
menyelamatkan diri dari akidah-akidah syirik dan batil
2.Melepaskan
diri (takhalli) dari penyakit-penyakit kalbu.
3.Menghiasi
diri (tahalli) dengan akhlak Islam yang mulia.
4.Mencapai
derajat ihsan dalam ibadah (tajalli).
3.2. Saran
Setelah para pembaca selesai membaca makalah ini, pastilah terdapat banyak kesalahan
di dalam penulisan makalah di atas, memang makalah ini masih jauh dari
sempurna, maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari Bapak Dosen demi
perbaikan makalah yang selanjutnya serta menuju arah yang lebih baik.
Kemudain diharapkan kepada para pembaca untuk pembuatan makalah
selanjutnya, agar bisa menambah referensi yang lebih mendukung, karena dalam
pembuatan makalah ini penulis hanya menggunakan beberapa referansi saja, hal
ini dikarenakan keterbatasan buku referensi yang penulis dapatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Sayyid
Nur Sayyid, At-Tashawwuf Asy-Syar’i, terj. M. Yaniyullah Jud.Tasawuf Syar’i,
Jakarta: Hikmah-Mizan, 2003
Nata M.A,
Prof. Dr. H. Abudin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003,
cet. Kelima
Tim Redaksi
Departemen Pendidikan Nasional. Ensiklopedi Islam. cet. Kesepuluh, Jakarta: PT
Ichtiar Baru van Hoeve, 2002
Siregar,
Prof. H. A. Rivay, “Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme” cet. Kedua,
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000
Mujib, M.ag.,
Abdul dan Jusuf Mudzakir M.si, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2002, cet. II
Drs. Totok
Jumantoro, M.A dan Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag. Loc.cit. Hal. 229
Drs. Totok
Jumantoro, M.A dan Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag. Loc.cit. Hal. 150
Drs. Totok
Jumantoro, M.A dan Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag. Loc.cit. Hal. 147
Drs. Totok
Jumantoro, M.A dan Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag. Loc.cit. Hal. 263